Senin, 10 Oktober 2011

KEKUASAAN PERADILAN AGAMA/ MAHKAMAH SYAR’IYAH


BAB I
PENDAHULUAN


Indonesia telah menubuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum.Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen di dalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan.
Dalam hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.




BAB II
KEKUASAAN PERADILAN AGAMA/
MAHKAMAH SYAR’IYAH

A.    KEKUASAAN MUTLAK PERADILAN AGAMA
1.      Pengertian Kekuasaan Mutlak Peradilan
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’.[1]Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.[2]
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dlam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.[3]Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.[4]

2.      Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama
Di lingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
Pengaadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama, baerwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah serta wakaf dan shadaqah.Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara tersebut untuk tingkat banding[5] atau tingkat kasasi.[6]
3.      Cakupan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.

Dari pasal tersebut ditentukan bahwa Peradilan Agama ditentukan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.Ini sesuai dengan asas Personalitas KeIslaman. Dan perkara-perkara yang menjadi cakupan kekuasaan Peradilan Agama adalah sesuai pasal 49 UU No. 7 Th. 89:
(1)   Pengadilan  Agama  bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus,  dan
menyelesaikan  perkara-perkara  di  tingkat  pertama  antara  orang-orang  yang beragama Islam di bidang:
a.       perkawinan;
b.      kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.       wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang  perkawinan  sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  a  ialah hal-hal  yang  diatur  dalam  atau  berdasarkan  undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang  kewarisan  sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  b  ialah penentuan  siapa-siapa  yang  menjadi  ahli  waris,  penentuan  mengenai  harta peninggalan,  penentuan  bagian  masing-masing  ahli  waris,  dan  melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

a.       Bidang Perkawinan
Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
1)      izin beristri lebih dari seorang;
2)      izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3)      dispensasi kawin;
4)      pencegahan perkawinan;
5)      penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6)      pembatalan perkawinan;
7)      gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8)      perceraian karena talak;
9)      gugatan perceraian;
10)  penyelesian harta bersama;
11)  penguasaan anak-anak;
12)  ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13)  penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14)  putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15)  putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16)  pencabutan kekuasaan wali;
17)  penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18)  menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19)  pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20)  penetapan asal usul seorang anak;
21)  putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22)  pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23)  Penetapan Wali Adlal;
24)  Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan

b.      Bidang Kewarisan, Wasiat, Hibah
1)      “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Pada permasalahan waris ini umat Islam diberi hak opsi atau diberi kebebasan untuk memilih Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.
2)      “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Kewenangan Peradilan Agama adalah bila wasiat dan hibah dilakuakan berdasarkan hukum Islam
3)      “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.[8]
c.       Bidang Wakaf dan Sedekah
1)      “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Cakupan kekuasaan mutlak Pengadilan Agama tidak meliputi sengketa hak milik. Ini merupakan salah satu masalah yang berkaitan dengan tidak penuhya kekuasaan Peradilan Agama.
2)      “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.[9]

Setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Ketentuan pemilihan hukum dalam perkara kewarisan (hak opsi) yang didasarkan pada penjelasan umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi:
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”. Dinyatakan dihapus berdasarakan penjelasan umum perubahan Undang-Undang  No. 7 Tahun 1989.
Dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 ini juga terjadi perluasan kewenangan di lingkungan Peradilan Agama.
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
“Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini”
Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Hal ini bertujuan agar perkara-perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama menjadi dasar dengan undang-undang baru ini.
Disamping itu perubahan kewenangan Peradilan Agma adalah ketentuan pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,  dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.  perkawinan;
b.  waris;
c.  wasiat;
d.  hibah;
e.  wakaf;
f.  zakat;
g.  infaq;
h.  shadaqah; dan
i.  ekonomi syari'ah”
Dengan ini, maka cakupan kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah
a.       Bidang Perkawinan
Cakupan kekuasaan mutlak Peradilan Agama tetap
b.      Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Ada dua macam perubahan mendasar di bidang ini:
1)      Tidak lagi mencantumkan syarat “yang diberlakukan hukum Islam”
2)      Hak Opsi di bidang kewarisan di hapuskan
c.       Zakat dan Infak
Merupakan dua bidang perkara baru yang menjadi keekuasaan Peradilan Agama.
d.      Ekonomi Syariah
Kekuasaan Peradilan Agama di bidang ini sesuai penjelasan pasal 50 huruf i:
lembaga keuangan mikro syari’ah.
1)      asuransi syari’ah;
2)      reksa dana syari’ah;
3)      obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
4)      sekuritas syari’ah;
5)      pembiayaan syari’ah;
6)      pegadaian syari’ah;
7)      dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
8)      bisnis syari’ah.

1.      Cakupan Kekuasaan Mahkamah Syar’iah
Mahkamah Syar’iyah di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai kekuasaan mutlak yang lebih luas. Kekuasaan itu meliputi tiga bidang;
a.       kewenangan dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelaan dari pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah, dan sadaqah.
b.      kewenangan bidang muamalah meliputi kebendaan dan perikatan seperti:
1)      jual beli, hutang piutang
2)      qiradh (permodalan)
3)      musaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian)
4)      wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian)
5)      ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh), rahnu (gadai)
6)      ihya’u al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqathah (barang temuan)
7)      perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful
8)      perburuhan
9)      harta rampasan
10)  waqaf, hibah, sadaqah, dan hadiah.
c.       kewenangan di bidang jinayah adalah sebagai berikut.
Hudud yang meliputi:
1)      zina
2)      menuduh berzina (qadhaf)
3)      mencuri
4)      merampok
5)      minuman keras dan napza
6)      murtad
7)      pemberontakan (bughat);

Qishash/diat yang meliputi:
1)      pembunuhan
2)      penganiayaan;

Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diat seperti:
1)      judi
2)      khalwat
3)      meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.


A.    KEKUASAAN RELATIF PERADILAN AGAMA
1.      Pengertian Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.

2.      Kekuasaan Relatif Pengadilan Agama (Prngadilan Agama dan Pengadilan Agama Tinggi)
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
(1)   Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
(2)   Pengadilan  Tinggi  Agama  berkedudukan  di  Ibukota  propinsi,  dan  daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Penjelasan ayat 1:
Pada  dasarnya  tempat  kedudukan  Pengadilan  Agama  ada  di kotamadya  atau  di  ibu  kota  kabupaten,  yang  daerah  hukumnya  meliputi  wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.Dengan demikian kekuasaan relativ Pengadilan Agama adalah meliputi satu wilayah propinsi dimana Pengadilan Tinggi Agama itu berkedudukan.Itu berarti bahwa pada dasarnya setiap propinsi di Indonesia memiliki satu Pengadilan Agama.Misalnya Pengadilan Tinggi Agama Padang untuk Profinsi Sumatera Barat.
Yurisdiriksi relatif ini mempunyai arti penting  sehubungan dengan Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan hak eksepsi tergugat. maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.[1]
Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya.Namun dalam praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan.

3.      Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
a.       Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
b.      Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
c.       Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
d.      Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
e.       Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya terpilih.

Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut:
a.       Permohonan Cerai talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut:
1)      Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon.
2)      Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
3)      Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon.
4)      Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

b.      Permohonan Gugat Cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut:
1)      Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/penggugat.
2)      Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat.
3)      Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/tergugat.
4)      Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat

4.      Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
a.       Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
b.      Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
c.       Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d.      Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri

5.      Kekuasaan Relatif Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Kepres RI Nomr 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Pasal 1 menyebutkan:
(1)   Pengadilan Agama ynag telah ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah.
(2)   Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Mahkamah Syar’iyah Propinsi.
Dan selanjutnya Pasal 2 berbunyi:
(1)   Daerah Hukum Mahkama Syar’iyah sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah daerah Hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan.
(2)   Daerah Hukum Mahkamah Syar’iyah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) adalah daerah Hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

Jadi, kekuasaan relatif Mahkama Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah meliputi satu daerah tingkat dua dimana Mahkamah Syar’iyah itu berada. Sedangkan Mahkamah Syar’iyah Propinsi, daerah hukumnya meliputi daerah Nanggroe Aceh Darussalam.Sebab Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi adalah perubahan dari Pengadilan Agama di Nanggroe Aceh Darussalam.


BAB III
KESIMPULAN




Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Jenis perkara yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama terdapat sebanyak 9 item sebagai berikut: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, Infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah


KEPUSTAKAAN


Asasriwarni dan Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa Press

Djalil, Basiq. 2006. Peradilan. Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana

A Rasyid, Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada

Ali, Daud. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Fauzan. 2007. Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group


http://advosolo.wordpress.com/2010/05/15/kekuasaan-peradilan-agama/



[1] Asasriwarni, Op. Cit., h. 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar