Minggu, 16 Oktober 2011

USHUL FIQH-MAFHUM DAN MANTHUQ


BAB I
PENDAHULUAN




Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).
Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah. Tulisan ini akan membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh Syafi’iyah dan Jumhur Ulama.

BAB II
DILÂLAH LAFAL MENURUT MAZHAB SYAFE’I
DAN JUMHUR


A.    DILÂLAH MANTHUQ
Kalangan ulama Syafi’iyah[1], dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq  (دلالـة الـمـنطوق)  dan  dilâlat  al-mafhûm
 (دلالـة الـمـفـهـوم). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq[2] ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
Dilalat mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:

ôãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ Π ÇËÌÈ  
                  “… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjuk-kan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.

1.      Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili[3]  yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[4]
2.      Mantûq Ghairu Sarih
mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi dua macam:
a.      Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara
1)      Dilalah iqtidha’
Dikalangan ulama Hanafiyah disebut dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ al-nash. Yaitu suatu dilâlah (petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi…”
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
2)      Dilalah ima’



“Penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.”
Umpamanya sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada beliau bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”. Jadi perbuatan mencampuri istri di siang hari bulan Ramadhan menjadi illat untuk hukum yang disebutkan.
b.     Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara
Hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah isyarah” dalam pandangan ulama Hanafiyah.[5]

B.    DILÂLAH MAFHUM



“Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan”

      Atau defenisi lain:


            “Apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan”
     
      Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
      Contohnya Q.S al-Isra’ (17): 23:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ÇËÌÈ  
“jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
     
      Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

Dilālat al-mafhūm ini dibagi kepada dua macam:
1.      mafhūm muwāfaqah
Ialah Penunjukkan lafal atas suatu ketetapan yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena antara keduanya yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat persamaan ‘illat. Tegasnya, mafhūm muwāfaqah itu adalah ketentuan hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan bersesuaian dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash.
Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang tidak disebutkan mafhūm muwāfaqah terbagi dua:
a.       mafhūm aulawi
ð  berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkna dalam lafaz. Contohnya seperti Q.S al-Israa’ (17): 23 di atas: sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar “uf’.

b.      mafhūm musawi
ð  berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq. Contohnya Q.S an-Nisa’(4): 10:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( š ÇÊÉÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”

Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara aniaya. Ada yang tersirat dibalik manthuq tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim, karena “meniadakan harta anak yatim” itu terdapat dalam “memakan” yang juga dalam “membakar” harta. Jadi, hukum pada yang tersirat kekuatannya sama dengan hukum pada yang tersurat.

Para ulama sepakat tentang bolehnya berhujjah dengan mafhum muwafaqah, namun mereka berbeda dalam hal sandaran hukum yang tidak disebutkan itu.
a.       Kelompok ulama yang berpendapat bahwa penemuan hukum yang tidak disebutkan itu adalah semata-mata dari pemahaman lafaz, bukan melalui qiyas. Alasannya bahwa untuk qiyas tidak dipersyaratkan adanya alas an hukum pada yang tidak disebutkan harus lebih serasi dibandingkan dengan alasan pada hukum yang disebutkan.
b.      Kelompok ulama yang mengatakan berlakunya hukum pada apa yang tidak disebutkan adalah melalui qiyas. Alasannya bahwa berlakunya hukum pada kejadian yang tidak disebutkan (tersirat) adalah karena kesamaan alasan hukum pada hukum yang tersirat dengan hukum yang tersurat. Hal ini dinamakan ‘illat yang sama dalam kedua alasan hukum tersebut.

2.      mafhūm mukhālafah.
Ialah penunjukkan lafal atas sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan oleh nash. Disebut dengan mukhlāfah karena hukum yang tidak disebutkan berlawan dengan hukum yang disebutkan.
Mafhūm mukhālafah ini terdiri dari lima macam berikut ini:
a.       Mafhūm sifat
ð  menetapkan hukum yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya, dalam surat An-Nisa’(4): 25:
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ÇËÎÈ  
Barangsiapa diantara kamu  yang tidak mampu untuk mengawini wanita merdeka mukmin, maka ia boleh mengawini wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.

Mantuq dari ayat ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita merdeka mukmin. Mafhūm sifatnya dari ayat ini ialah tidak boleh menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.
b.      Mafhūm syarat
ð  menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah dalam surat al-Thalaq (65):  6:
4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq ÇÏÈ
“jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah mereka sampai mereka melahirkan”.

Mantuq ayat ini menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat bila ia dalam keadaan hamil. Mafhūm syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil.   
c.       Mafhūm al-gayah/ limit waktu
ð  menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu. Tegasnya, menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada mantuq. Contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 230:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 ÇËÌÉÈ  
Jika suami mentalak isterinya (talak tiga), tidak halal baginya bekas isterinya hingga bekas isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.

Mantuq ayat ini ialah tidak boleh menikahi isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah dengan laki-laki lain. Mafhūm al-gayahnya bila bekas isteri itu telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa iddahnya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut.
d.      Mafhūm al-Adad
ð  penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan. Contohnya dalam surat al-Nur (24): 2:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( ÇËÈ  
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki hendaklah masing-masing mereka dicambuk sebanyak seratus kali”.

Mantuq ayat ini adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak seratus kali. Mafh­m adadnya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut bila cambukannya itu lebih atau kurang dari seratus kali.
e.       Mafhūm laqab
ð  menetapkan  atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya (orang lain). Misalnya, dalam Firman Allah surat Ali Imran ayat 97:
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 ÇÒÐÈ  
“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu pergi ke Baitullah…”

Mantuq ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke baitullah di Makkah al-Mukarramah. Mafhûm laqabnya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke tempat lain selain ke Baitullah.

C.     BERHUJJAH DENGAN MAFHUM MUKHALAFAH
      Di kalangan ulama sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karena menurut mereka mafhūm laqab tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam kaitannya dengan teks hukum.[6]
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu. Alasan kalangan jumhur ulamaa:
a.       Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan.
b.      Kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafh­m mukhalafah.

2.      Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui  mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan Hanafiyah adalah:
a.       Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini:
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا  لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا عـفـة ...
                  “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”

      Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda.
b.     Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 101:
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ÇÊÉÊÈ  
“Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”

Bila mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat ini.

D.    SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat tersebut:
1.      Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: Q. S Isra’(17): 31:
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ÇÌÊÈ  
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah: Q.S Isra’(17): 33)
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 ÇÌÌÈ  
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”

Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah: Q.S Isra (17): 23
* Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ   
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”

Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2.      Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh: Q.S An-Nisa’ ayat 23
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”

Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3.      Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.

Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4.      Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh: Q.S Al-Baqarah ayat 187:
4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 ÇÊÑÐÈ  
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di masjid”

Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri.[7]






BAB III
KESIMPULAN



Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa di kalangan Ulama Ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya.
Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq.
Adapun dilâlat  isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm. Hanya saja Syafe’i membedakan atau membagi dilâlat mafhûm kepada muwâfaqah dan ‘mukhâlafah. Terhadap mahfûm mukhâlafah ini memang terjadi perbedan pendapat antara Hanafi dan Syafe’i, terutama di dalam kehujahan dan pengamalannya, seperti telah diuraikan di atas.






KEPUSTAKAAN



Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

Sya’ban, al-Din. 1965. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif

Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr


shttp://muhithul-ulum.blogspot.com/2009/09/mafhum-mantuq.html



[1]   al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir; Dar al-Ta’lif, 1965),  h. 376-377
[2] Ibid.,
[3] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986), h. 360
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 145
[5] Ibid., h. 146
[6] Amir Syarifuddin, Ibid., h. 152
[7] http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/