BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tebing terjal yang masih harus didaki oleh cendekiawan Islam adalah masalah penerapan hukum pidana yang sesuai dengan Syariat Islam. Di dunia Islam Sendiri hanya segelintir negara yang menerapkan hukum Pidana Islam. Sedangkan lainnya masih menerapkan hukum peninggalan penjajah. Hal terbesar yang perlu dirubah adalah stereotip negatif terhadap Hukum Pidana Islam sendiri. Banyak orang yang menganggap hukum Pidana Islam tidak sesuai lagi dengan era ini. Hukum ini terlalu kejam. Kita tidak tahu apakah anggapan ini muncul dari orang yang berpendidikan(pernah mempelajari aspek-aspek dalam Hukum Pidana Islam) atau tidak.
Pada kesempatan kali, ananda sebagai penyaji makalah akan membahas segelintir kecil dari pengetahuan hukum dalam Hukum Pidana Islam yaitu tentang jarimah, dan lebih dikususkan lagi tentang pembagian jarimah dari aspek niat pelakunya, objek perbuatan dan motifnya serta bentuk jarimah ditinjau dari aspek pelaksanaan dan bobot hukumannya.
BAB II
BENTUK-BENTUK JARIMAH
A. BENTUK JARIMAH DITINJAU DARI ASPEK NIAT PELAKUNYA
1. Jarimah Sengaja (jara-im maqshudah/ Dolus)
Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah sengaja adalah sebagai berikut.
Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorangdengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.[1]
Dari defenisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur:
a. Unsur kesengajaan[2]
b. Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya
c. Unsur pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.[3]
Begitulah arti umum kesengajaan, meskipun pada jarimah pembunuhan, kesengajaan mempunyai arti khusus, yaitu sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang dan memang akibat dari perbuatan itu dikehendaki pula.
Kalau sipembuat dengan sengaja berbuat tetapi tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut “pembunuhan semi-sengaja”. Dalam hukum-hukum positif disebut “penganiayaan yang membawa kematian”.[4]
2. Jarimah Tidak Sengaja (jara-im ghairu maqshudah/ Colpus)
Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja sebagai berikut.
Jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya)
Kekeliruan atau kesalahan ada dua macam
a. Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. Kekeliruan inipun terbagi dua:
1) Keliru dalam perbuatan ﺨﻂﺄ ﻓﻰ ﺍﻠﻔﻌﻞ
Contohnya: seseorang yang menembak binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang mengenai manusia.
2) Keliru dalam dugaan ﺨﻂﺄ ﻓﻰ ﺍﻠﻗﺻﺪ
Contohnya: seseorang yang menembak orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang dikejarnya, tetapi ternyata ia penduduk biasa.
b. Pelaku tidak sengaja berbuat jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Disebut “jariyah majral khatha”, contohnya: seseorang yang tidur disamping bayi dalam barak pengungsian dan ia menindih bayi itu sampai mati.
3. Pentingnya Pembagian Ini Dapat Dilihat dari Dua Sisi:
a. Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan adanya kesengajaan berbuat jarimah, sedangkan dalam jarimah tidak sengaja kecendrungan untuk berbuat salah tidak ada. Oleh karenanya hukuman untuk jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah tidak sengaja.
b. Dalam jarimah sengaja hukuman hukuman tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti. Sedangkan pada jarimah tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena kelalaian pelaku atau ketidakhati-hatiannya semata-mata.[5]
B. BENTUK JARIMAH DITINJAU DARI ASPEK OBJEK PERBUATAN & MOTIFNYA
1. Jarimah Ditinjau dari Aspek Objek Perbuatan
a. Jarimah Perseorangan (jara-im dhiddul-afraad)
Adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti menyinggung masyarakat.
Jarimah qishash dan diat termasukkedalam kelompok jarimah perseorangan. Jarimah ta’zir sebagian ada yang masuk jarimah perseorangan, apabila yang dirugikan hak perseorangan, seperti penghinaan, penipuan dan semacamnya.
b. Jarimah Masyarakat (jara-im dhiddul-jamaa’ah)
Adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat juga menyinggung perseorangan.
Jarimah-jarimah hudud termasuk ke dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian daripadanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf. Jarimah ta’zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat seperti, penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan lainnya. Dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf, karena hukummannya merupakan hak Allah (hak masyarakat).
2. Jarimah Ditinjau dari Aspek Motifnya
a. Jarimah Biasa (al-jarimah al-adiyah)
Adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik, jarimah biasa terdapat dalam keadaan normal.
b. Jarimah Politik (al-jarimah al-siyasiah)
Muhammad Abu Zahrah mengemukakan pengertian jarimah politik sebagai berikut.
Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.[6]
Syarat-Syarat dari Jarimah Politik
Dikalangan fuqaha “jarimah politik” disebut “albaghyu” dan pembuat-pembuatnya disebut “al-bughaat”. Yang dimaksud dengan “bughaat” ialah orang-orang yang memberontak kepada imam (penguasa negara) berdasarkan ta’wil (alasan) tertentu dan mempunyai kekuatan tertentu atau segolongan kaum muslimin yang menentang penguasa negara tertinggi atau wakilnya karena dua hal:
1) Tidak mau melakukan suatu kewajiban seperti zakat, atau sesuatu hukum syara’ yang berhubungan dengan hak Tuhan atau manusia dan lainnya.
2) Hendak mencopot penguasa tertinggi karena dipandang telah menyeleweng.
Syarat-syarat yang harus terdapat pada golongan yang memberontak untuk dapat disebut bughaat ada tiga macam:
1) Tujuan: harus mempunyai tujuan tertentu yaitu hendak mencopot kepala negara atau badan eksekutif atau tidak hendak tunduk kepadanya.
2) Alasan (ta’wil): mengemukakan alasan pemberontakannya serta dalil-dalil kebenaran pendirian mereka, meskipun dalil itu sendiri lemah.
3) Suasana pemberontakan dan perang: untuk digolongkan kepada jarimah politik, maka sesuatu perbuatan harus dilakukan dalam keadaan pemberontakan atau perang saudara yang dikobarkan untuk mewujudkan masksud-maksud jarimah.
Hukuman jarimah politik
Hukuman jarimah politik dapat berbeda-beda, menurut perbedaan keadaan dimana jarimah itu terjadi. Jarimah yang dilakukan daalam suasana pemberontakan dibedakan menjadi dua:
1) Jarimah yang diperlukan oleh suasan tersebut
Contohnya menganiaya orang-orang pemerintahan yang ditentang dan membunuhnya. Menguasai harta benda negara, merusak jalan-jalan, membakar gedung-gedung dan perbuatan lain yang diperlukan oleh strategi pertempuran.
Terhadap perbuatan tersebut syara’ memperbolehkan membunuh mereka dan merampas harta bendanya sekedar untk menumpas gerakan mereka.kalau negara sudah dapat menguasai mereka, dan merekapun sudah menguasai mereka, dan merekapun telah meletakkan jabatannya maka jiwa dan raga mereka tidak boleh diganggu. Kemudian negara boleh mengampuni mereka atau menjatuhkan hukuman ta’zir atas mereka, karena penyelewengan mereka, buakn karena jarimah-jarimah yang diperbuat oleh mereka selama melakukan penyelewengan.
2) Jarimah lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan keperluan pemberontakan dan perang. Jarimah ini dianggap jarimah biasa.
Jarimah Politik pada Hukum Positif
Sebelum revolusi perancis, hukum-hukum positif menganggap jarimah-jarimah politik lebih berbahaya dari jarimah biasa. Setelah revolusi perancis dan setelah banyak terjadi perubahan sistem politik dinegeri-negeri Eropa, maka pembuat jarimah politik diperlakukan dengan lunak dari hukuman jarimah biasa.
Sarjana-sarjana hukum berbeda pendapatnya tentang ciri pemisah antara jarimah biasa dengan jarimah politik:
1) Golongan pertama: ciri pemisah tersebut adalah “tujuan”
2) Golongan kedua: ciri pemisah adalah macamnya hak yang dilanggar, tanpa memperhatikan niatan si pembuat.
3) Golongan ketiga: jarimah yang dilakukan dalam keadaan biasa digolongkan pada jarimah biasa, meskipun untuk maksud politik. Sedang jarimah-jarimah yang terjadi selama selama dalam keadaan pemberontakan dan perang saudara, maka digolongkan pada jarimah politik.
Pendapat terbaru di kalangan hukum positif menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah politik, apabila ditujukan kepada para penguasa dan bentukpemerintahan kedalam, bukan yang ditujukan terhadap sistem sosial atau terhadap kemerdekaan negara dan hubungannya dengan negara-negara lain, serta dengan syarat harus terjadi pada masa pemberontakan dan perang saudara serta diperlukan pula oleh sifat pemberontakan dan perang saudara itu sendiri.[7]
C. BENTUK JARIMAH DITINJAU DARI ASPEK PELAKSANAAN DAN BOBOT HUKUMANNYA
1. Jarimah Ditinjau dari Aspek Pelaksanaannya
a. Jarimah Positif (jara-im iijaabiyyah/ delicta commissionis)
Adalah jarimah yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina, dan pemukulan.
b. Jarimah Negatif (jara-im sal biyyah/ delicta ommissionis)
Adalah jarimah yang terjadi karena tridak mengerjakan perbuatan diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat. Jarimah negative ada dua macam:
1) Jarimah negatif semata-mata (delik ommissionis)
2) Jarimah negatif yang menimbulkan jarimah positif/ jarimah positif dengan jalan negatif (delik Commissionis per ommissionem commisa)
Antara Syara’ dengan Hukum Positif
Dalam hukum positif, jarimah negatif brau terdapat sejak abad ke-19 Masehi. Sebelum masa tersebut, kebanyakan sarjana-sarjana hukum positif berpendirian “tidak mungkin terjadi jarimah dari sikap tidak berbuat”. Hanya sebagian kecil dari sarjana-sarjana hokum tersebut yang berpendirian sebaliknya. Pada akhirnya pendirian kedua tersebut mendapat pengikut terbanyak, meskipun tidak diambil keseluruhannya.
Contoh sikap tidak berbuat yang menimbulkan jarimah ialah menahan orang dengan melawan hokum tanpa memberinya makan, dengan maksud untuk membunuhnya. Contoh sikap tidak berbuat yang tidak menimbulkan jarimah ialah tidak mau menolong orang yang akan tenggelam, atau orang yang terkepung dalam api. Contoh tersebut hamper sama dengan contoh yang dikemukakan oleh fuqaha.
Tentang sumberkewajiban untuk berbuat menurut hokum positif yaitu undang-undang atau perjanijian, sama benar dengan sumber yang dikemukakan oleh fuqaha yaitu syari’at.
Q.S. al-Maidah: 1
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[8]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Akan tetapi mengenai “kebiasaan” (urf), maka pandangan hukum positif tidak menganggapnya sebagai sumber kewajiban . dalam hal ini pandangan Hukum Pidana Islam lebih tepat, karena semua Syari’ah dan undang-undang bahkan pendapat tiap-tiap orang, tentu akan mengatakan bahwa apa yang diwajibkan oleh kebiasaan harus dilaksanakan, tanpa memerlukan ketentuan demikian secara tersendiri dalam perjanjian yang merupakan hasil kesepakatan beberapa orang tertentu, sebab kebiasaan yang sudah diakui oleh semua orang mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat.[9]
2. Jarimah Ditinjau dari Aspek Bobot hukumannya
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah:
“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.[10]
Ciri khas dari jarimah hudud:
1) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam artian bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata. Pengertian akan hak Allah menurut Mahmud Syaltut:
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang”[11]
Jarimah hudud ini ada tujuh macam:
1) Jarimah zina: Rajam, melempari pezina dengan batu sampai ajal, adalah alternatif hukuman terberat dan bersifat insidentil. Penerapannya lebih bersifat kasuistik, karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu dan masyarakat.
2) Jarimah qadzaf (menuduh zina)[12]: menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang meyakinkan. Jika tidak terbukti maka penuduh dikenai dera 80 kali. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran nama baik adalah hak yang harus dilindungi, bukan sekedar karena kebohongan.
3) Jarimah Syurbul Khamr: diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan lainnya. Islam sangat memperhatikan kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan harta benda. Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai hukum ta`zir sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab.
4) Jarimah pencurian: Sariqah ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam Al-Quran, Jarimah Sariqah adalah potong tangan. Dalam ijtihad, potong-tangan diberlakukan untuk pencuri professional. Dalam teori halah al-had al-a`la, hukum potong tangan dalam kejadian tertentu dapat digantikan dengan hukuman lain yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti dengan yang lebih tinggi.
5) Jarimah hirabah: sekelomok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan. Hukuman bagi haribah adalah hukuman bertingkat. Potong tangan karena mencuri, potong kaki karena mengacau, qishash karena membunuh, disalib karena membunuh dan mengacau, dan dipenjara bila mengacau tanpa membunuh dan mengambil harta
6) Jarimah riddah: orang yang menyatakan kafir setelah beriman dalam Islam, baik dilakukan dengan; 1. perbuatan menyembah berhala, 2. dengan ucapan bahwa Allah mempunyai anak, atau 3. dengan keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk. Dalam Hadis, hukumnya dibunuh. Namun dalam pemahaman kontektual bahwa murtad, hanya dihukumi ta`zir, karena sanksinya bersifat Akhirat, murtad hanya dihukum jika mencaci maki agama, akan tetapi bisa dikenai hukuman mati dengan ta`zir jika terbukti melakukan desersi sedang Negara dalam keadaan perang
7) Jarimah Al Bagyu: pemberontakan, yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib.[13]
b. Jarimah Qishash dan Diat
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat (ganti rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qishas maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan syara’ dan merupakan hak individu. Pengertian akan hak manusia (individu) menurut Mahmud Syaltut:
‘Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu’
Ciri khas jarimah qishas dan diat:
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishas dan diat terbagi menjadi:
1) Pembunuhan sengaja (al-qotlul‘amdu)
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (al-qotlu syibhul’amdi)
3) Pembunuhan karena kesalahan (al-qotlul khotho-u)
4) Penganiayaan sengaja (al-jar’hul ‘amdu)
5) Penganiayaan tidak sengaja (al-jar’hul khotho-u)[14]
c. Jarimah Ta’zir
Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat dikenakan atas kehendak masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya mubah. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.[15]
Ciri khas jarimah ta’zir:
1) Hukumannya tidak tertentu dan terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan syara’ dan ada batas maksimal dan minimalnya.
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa
Jenis jarimah ta’zir menurut Ibnu Taimiyah;
“Perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan isteri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai.”
Jarimah Ta`zir juga bisa dibagi menjadi tiga macam
1) Jarimah yang berasal dari hudud namun terdapat syubhat
2) Jarimah yang dilarang nash, namun belum ada hukumnya
3) Dan jarimah yang jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
d. Pentingnya Pembagian kepada Tiga Macam Jarimah Ini
Segi | Hudud | Qishas dan Diat | Ta’zir |
Pengampuan | Tdk ada | Ada, hanya untuk hukuman pokok | Ada dan lebih luas |
Kompetensi hakim | Vonis hakim sesuai syara’ | Vonis hakim bisa berubah | Kekuasaan hakim luas |
Keadaan yg meringankan | Keadaan tdk mempengaruhi kecuali gila atau dibawah umur | Keadaan tidak mempengaruhi hukuman | Keadaan mempengaruhi hukuman |
Alat-alat pembuktian | Syara’ telah menetapkan bilangan saksi tertentu | Syara’ telah menetapkan bilangan saksi (minimal dua saksi) | Minimal satu saksi |
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jarimah ditinjau dari aspek niat pelakunya terdiri atas jarimah sengaja dan jarimah tak sengaja. Sedangkan jarimah ditinjau dari aspek objek perbuatannya adalah jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. Dan jika jarimah dilihat dari segi motif pelakunya ada jarimah biasa dan jarimah politik. Jarimah juga terbagi atas dua jika ditinjau dari aspek pelaksanaanya yaitu jarimah positif dan jarimah negatif. Dan terakhir jika jarimah dillihat dari aspek bobot hukumannya terbagi atas tiga yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat serta jarimah ta’zir.
Dari berbagai macam-macam jarimah tersebut dapat disimpulkan bahwasanya dari hukuman atas jarimah tersebut ada hukuman hak Allah dan ada hukuman hak manusia. Itu semua tergantung dari jarimah itu sendiri.
KEPUSTAKAAN
Wardi Muslich, Ahmad. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fikih Jinayah. Jakarta: sinar Grafika
Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang
Djazuli. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Wardi Muslich, Ahmad. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
[1] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 22
[3] Op. Cit., h. 22
[4] Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), h. 13
[5] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., h. 23
[6] Ibid., h. 27
[7] Ahmad Hanafi, MA., h. 19-24
[8] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya
[9] Ibid., h. 15-16
[10] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. x
[11] Op. Cit., h. 17
[12] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 19970, h. 13
[13] http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
[14] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., h. 18-19
[15] http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
mampir ke blog aku kang..,. Monggo
BalasHapus