Kamis, 13 Oktober 2011

HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA-MAHAR

BAB I
PENDAHULUAN


Salah satu usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya.
Lalu Islam dating dan menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberikan hak mahar. Dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Dan pada kesempatan kali ini penyaji makalah akan membahas seputar masalah mahar. Dimulai dari pengertian mahar sampai permasalahan mengenai mahar yang dipersengketakan oleh suami istri itu sendiri.




BAB II
MAHAR



A.    PENGERTIAN DAN HUKUM MAHAR
1.      Secara Etimologi
Kata “mahar” dalam Al-Quran tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata “saduqah”. Namun pengertian mahar secara etimologi adalah maskawin.[1]
2.      Secara Terminologi
a.       Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 1huruf d:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[2]
b.      Menurut ulama fiqh
Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[3]
Jadi, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isterinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa/ pelayanan[4] (memerdekakan, mengajar, dan lain sebaginnya) untuk menimbulkan rasa cinta kepada calon isterinya ketika atau akibat dari berlangsungnya akad.

3.      Dasar Hukum Mahar
Kewajiban dari mahar terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ (4): 4 yang disunakan istilah “saduqah
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[5]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Istilah mahar digunakan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam empat:
Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila ia digauli, maka ia berhak menerima mahar sebagai penghalalan farjinya. Maka apabila wali mereka enggan (menikahkan) maka pemerintahlah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali”.[6]
Jika isteri telah memberikan maharnya, tanpa paksaaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi bila isteri dalam memberikan sebagian maharnya karena malu, atau takut, atau terkicuh, maka tidak halal menerimanya, Allah berfirman dalam surat Al-Nisaa’ (4): 20
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ  
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[7], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”.

Jadi, mahar itu hukumnya wajib bagi laki-laki meskipun mahar itu tidak menjadi syarat/ rukun nikah.[8] Apabila di dalam akad nikah masalah mahar tidak disebutkan/ diserahkan, maka pernikahan tersebut tetap sah.

B.     SYARAT-SYARAT MAHAR
Mahar yang diberikan kepada calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat:
1.      Harta berharga
2.      Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
3.      Barangnya bukan barang ghasab
4.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya[9]
C.     KADAR (JUMLAH) MAHAR
1.      Menurut Fikih
Agama tidak menetapkan jumlah maksimal dan jumlah minimal dari maskawin. Pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujua masing-masing pihak yang kan menikah untuk menetapkan jumlahnya.
Mukhtar Kaml menyebutkan: “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan”. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:


Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah dating kepada Rasulullah SAW., seorang wanita maka ia berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan awanita tersebut berdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah Saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat terhadapnya”. Maka Rasulullah SAW. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “Aku tidak mempunyai sesuatu selain sarungku ini”. Nabi SAW. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, amak carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa”. Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apapun. Maka, Rasulullah SAW. bersabda: ”Adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?”. Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi SAW. bersabda: “Engkaulah telah aku nikahkan engaku dengan dia dengan maskawin Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu juga ada hadits dari ‘Amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan Bani Fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah SAW. bersabda: “Apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal?”. Jawabnya: “Ya”. Lalu Nabi membolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia sahkan.[10]
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Namun mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Perbedaan tersebut:
a.       Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in: mahar tidak ada batas minimalnya
b.      Imam Malik dan pengikutntya: mahar paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
c.       Imam Abu Hanifah: mahar minimalnya sepuluh dirham.

Mahar berlebih-lebihan
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW. bersabda:
“Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula: “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinan dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka yaitu,yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buru akhlaknya”.[11]

2.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.[12]

D.    MEMBERI MAHAR DENGAN KONTAN DAN UTANG
1.      Menurut Fikih
Pelaksanaan mahar dengan kontan dan berhutang atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hal ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan mereka yang berlaku. Tetapi sunnah kalu membayar kontan sebagian. Karena:







Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW. melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: “Saya tidak punya apa-apa”. Maka sabdanya:”Dimanakah baju besi ‘Hutanniyah’-mu?.” Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.
            (HR. Abu Dawud, Nasa’I dan Hakim, dan disahkan olehnya)
Pendapat Ulama:
a.       Al auza’i: para ulama menganggap sunnah tidak mencampuri isteri sebelum dibayarkan sebagian dari maharnya.
b.      Juhri: sampai kepada kami tuntunan sunnah bahwa agar tidak mencampuri isteri sebelum ia diberi nafkah atau pakaian.
c.       Ibnu Hazm: barang siapa kawin baik lebih dulu menentukan maharnya atau belum, maka ia boleh mencampuri isterinya, baik ia setuju atau tidak. Dan si perempuan berhak menentukan mahar yang telah ditentukan baik suami setuju atau tidak.
d.      Abu Hanifah: suami berhak mencampurinya baik ia suka atau tidak, sekalipun maharnya dengan cara berhutang. Karena dia sebelumnya setuju dengan mahar hutang.

Q.S Al-Baqarah (2): 236-237
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ   bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ  
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah[13], dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan

Diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa seandainya ia memberikan mahar dengan hutang yang memberatkan dan ia berniat untuk tidak membayarnya, maka haram baginya. Hadits Abu Hurairah RA:
“Barang siapa menikahi seorang wanita dengan mahar, dan dia berniat untuk tidak membayarnya, maka ia telah berzina, dan barang siapa berniat hutang dan tidak mau membayarnya, maka ia disebut maling.[14]

2.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1)   Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)   Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.
Pasal 34
(1)   Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2)   Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[15]

E.     MACAM-MACAM MAHAR
1.      Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a.       Kalau benar-benar sudah disenggamai
b.      Bila seorang dari suami isteri meninggal dunia sebelum bersenggama
2.      Mahar Mitsli (sepadan)
Yaitu mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan perempuan lainnya, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya, kejandaannya dan negerinya sama ketika akad dilangsungkan.[16]
Mahar mitsli diwajibkan dalam tiga kemungkinan:
a.       Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya
b.      Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.
c.       Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami isteri  berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.[17]

Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suamii wajib membayar mahar mitsil.

F.      GUGUR/ RUSAKNYA MAHAR
1.      Gugurnya Mahar
Suami gugur dari kewajiban membayar mahar seluruhnya jika perceraian sebelum terjadinya senggama dating dari pihak isteri. Dan juga mahar gugur apabila perempuan belum disenggamai melepaskan maharnya atau menghibahkan kepadanya. Dalam hal ini gugurnya mahar dikarenakan perempuan sendiri yang menggugurkannya. Dan mahar sepenuhnya ada dalam kekuasaan perempuan[18]
2.      Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut. Ada lima persoalan pokok:
a.       Barangnya tidak boleh dimiliki
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli
c.       Penggabungan mahar dengan pemberian
d.      Cacat pada mahar
e.       Persyaratan dalam mahar
Pendapat ulama:
a.       Hanafiyah: bila mahar rusak atau hilang setelah diterima oleh isteri, maka secara hokum suami telah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan selanjutnya menjadi tanggung jawab isteri./ bila mahar itu masih ditangan suami dan ternyata rusak atau hilang, maka nilainya menjadi tanggungan suami untuk membayarnya.
b.      Malikiyah: mahar sebelum suami isteri bergaul merupakan kewajiban bersama dalam mengganti kerusakan atau kehilanngan dan sebaliknya juga merupakan hak bersama dalam pertambhan nilai.
c.       Syafi’iyah: suami bertanggung jawab atas mahar yang belum diserahkan dalam bentuk tanggung jawab akad dengan arti bila rusak atau hilang karena kelalaian suami ia wajib menggantinya, tetapi bila rusak atau hilang bukan karena kelalaiannya tidak wajib menggantinya.
d.      Hanabilah: mahar yang dinyatakan dalam bentuk tertentu dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi tanggungan isteri sedang bila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan hilang atau rusak sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungan suami.

Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

G.    MAHAR YANG DIPERSENGKETAKAN SUAMI ISTRI
1.      Perselisihan Suami Isteri dalam Mahar
Jika terjadi perselisihan antara suami isteri dalam mahar, baik perselisihan nilai atau dalam bentuk waktu penyerahannya. Ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikannnya:
a.       Malikiyah: bila perselisihan terjadi sebelum keduanya bergaul, keduanya bersumpah dan dibatalkan perkawinanya. Namun bila yang berssumpah hanya seorang diantaranya dan yang lain menolak, maka yang dibenarkan adalah pihak yang bersumpah. Bila perselisihan terjadi sesudah bergaul, maka yang dibenarkan adalah ucapan suami.
b.      Sebagian ulama lain: bila keduanya berselisih, maka keduanya bersumpah dan kembali kepada mahar mitsil sedangkan nikahnya tidak difasakh. Dan ada juga yang berpendapat yang dibenarkan adalah ucapan suami, namun mahar dikembalikan kepada mahar mitsil.

Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.

2.      Mahar Rahasia dan Terbuka
Jika kedua belah pihak yang berakad nikah menyetujui suatu jumlah mahar dengan rahasia, beberapa hari kemudian secara terbuka mereka mengadakan pembicaraan tentang jumlah mahar dengan kesepakatan lebih besar dari jumlah maharpertama, kemudian kedua belah pihak bersengketa sehingga dibawa ke pengadilan. Lalu cara penyelesaiannya menurut ulama adalah:
a.       Abu Yusuf: diputuskan berdasarkan kesepakatan mereka dengan rahasia sebelumnya
b.      Abu Hanifah, Muhammad, Ahmad, Sya’bi, Ibnu Abi Laila dan Abu Ubaid: dihukum berdasarkan kesepakatan mahar secara terbuka.

3.      Memegang Mahar
jika isteri masih kecil, maka bapaknyalah yang berhak memegang (menyimpan) maharnya. Jika ia tidak punya ayah atau wali lainnya yang berhak mengurus, menyimpan dan menitipkan mahar tersebut ke kantor Bendahara Negara.
Wali ini, tidak boleh menggunakan harta tersebut kecuali dengan izin pengadilan khusus. Bagi mahar perempuan dewasa, hanya boleh disimpan oleh walinya dengan izinnya. Tetapi, ada pendapat yang mengatakan bahwa ayahnya berhak memegang mahar perempuan dewasa walaupun tanpa izinnya. Karena ini berlaku dalam adat dan perempuan/ gadis dewasa sama dengan perempuan kecil.


BAB III
KESIMPULAN


Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isterinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa/ pelayanan (memerdekakan, mengajar, dan lain sebaginnya) untuk menimbulkan rasa cinta kepada calon isterinya ketika atau akibat dari berlangsungnya akad.
Mahar itu hukumnya wajib bagi laki-laki meskipun mahar itu tidak menjadi syarat/ rukun nikah. Apabila di dalam akad nikah masalah mahar tidak disebutkan/ diserahkan, maka pernikahan tersebut tetap sah. Mahar yang diberikan kepada calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat: Harta berharga, Barangnya suci dan bisa diambil manfaat, Barangnya bukan barang ghasab, Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Mahar terbagi atas dua macam yaitu mahar musammah dan mahar mitsil. Mahar juga bisa dibayar kontan atau hutang, itu tergantung kesepakatan calon mempelai namun hak sepenuhnya jatuh kepada perempuan.




KEPUSTAKAAN


Sabiq, Sayyid. 1981. Fiqh Sunnah jilid 7. Bandung: PT. Alma’ruf

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers

Taimiyah, Ibnu. 2002. Majmu Fatwa tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Kompilasi Hukum Islam



http://madin4sunanampel.wordpress.com/category/fiqih/



[1] Drs. Ahmad Rofiq, MA., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. 100
[2] Kompilasi Hukum Islam
[3] Prof. Dr. H. MA Tihami M.a., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 37
[4] Drs. Sudarsono, SH., MSi., Hukum Perkawinan Nasional. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005), h. 55
[5] Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas
[6] Drs. Ahmad Rofiq, MA., h. 100-101
[7] Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
[8] http://kitab-fiqih.blogspot.com/2011/04/maharmaskawin.html
[9] Prof. Dr. H. MA Tihami M.a., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Op. Cit., h. 39-40
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 7, (Bandung: PT. Alma’ruf, 1981, cet: 14), h. 55-56
[11] Ibid., h. 61
[12] Kompilasi Hukum Islam
[13] Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
[14] Ibnu Taimiyah, Majmu Fatwa tentang Nikah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 174
[15] Kompilasi Hukum Islam
[16] Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 69
[17] Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2006), h. 89
[18] Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar